Jadi Tersangka Korupsi Alat KB, Ini Tanggapan Kepala BKKBN Surya


Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty menyebut dirinya dijebak dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat KB tahun anggaran 2015. Surya Chandra merasa dimanfaatkan oknum tertentu di kantornya. 

"Dia sebagai kepala hanya diberi tahu oleh teknisnya. Jadi penentuan masalah harga, siapa supplier ada di tingkat kelompok kerja (pokja), kemudian naik ke PPK, dan naik ke kuasa pemegang anggaran (KPA), seperti sekjen. Setelah semua bersih, baru naik ke pengguna anggaran (PA), PA beliau itu," ujar kuasa hukum Surya, Edi Utama, dalam keterangannya, Jumat (10/11/2017). 

Menurut Edi, Surya sebagai pengguna anggaran (PA) tidak bertanggung jawab atas proses lelang tersebut. Sebab, yang seharusnya bertanggung jawab adalah pejabat teknis. 




"Justru di dalam benturan di dalam antara pokja, PPK, KPA, dia hanya sebagai mandor, buktinya ini baru pertama kali, PA ini tidak bertanggung jawab di sini," ujarnya. 

Edi mengatakan awalnya Surya dilantik pada 16 Mei 2015. Proses pengadaan lelang dimulai pada 28 Juli 2015 saat Direktur Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah-BKKBN I Wayan Sundra dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah Ali Sujoko mengirim surat terkait permintaan kelompok kerja (pokja) Unit Layanan Pengadaan (ULP) pengadaan alat kontrasepsi dan sarana penunjang kontrasepsi tahun 2015. Surat itu dikirim pula kepada Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Tengah dan Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Timur. 

Kemudian, dimulailah rapat-rapat panjang persiapan pengadaan alat kontrasepsi sejak Agustus 2015. Dilanjutkan beberapa rapat evaluasi penawaran lelang itemizedpengadaan susuk KB implan 3 tahunan. 

Selanjutnya pokja tersebut mengeluarkan surat pengumuman pemenang lelang proyek tersebut. Namun, pada Oktober 2015, PPK Ali Sujoko mengusulkan pembatalan lelang implan/susuk KB II tiga tahunan tahun anggaran 2015 melalui surat kepada kuasa pengguna anggaran (KPA). 

Setelah datang usulan pembatalan lelang tersebut, Surya menggelar rapat yang dihadiri Kepala BKKBN, Sestama, Irtama, Itwil II, auditor, Dir Ditjalpem, Eselon 4 Ditjalpem, PPK Ditjalpem, dan Pokja Pengadaan Alat kontrasepsi 2015. Tidak lama setelah rapat tersebut, sekitar 27 Oktober 2015, Ali Sujoko mengundurkan diri diri sebagai PPK.

Guna merespons pengunduran diri tersebut, selanjutnya KPA merangkap sebagai PPK Ditjalpem berdasarkan Pasal 12 ayat 2B Perpres No 70 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan aturan itu, ia mengatakan penunjukan tersebut telah sesuai dengan prosedur. 

Setelah PPK diganti, proses pengadaan terus berlanjut hingga selesai sampai pembayaran-pembayaran sesuai kontrak dengan pihak-pihak penyedia. Kejaksaan Agung pada 2 Mei 2017 telah memanggil Surya untuk memintai keterangan. Surya menolak disebut sebagai pihak yang memberi intervensi dalam kasus tersebut. 

"Kepala BKKBN itu waktu membuat keputusan lelang itu harus lanjut dia dikumpulkan dulu seluruh pejabat. Jadi ini keputusan kolegial (bersama), jadi karena ini keputusan strategis kita harus putuskan lanjut. Jadi tidak ada istilah intervensi sendirian, semua bukti sudah disampaikan, tapi penyidik punya opini sendiri, silakan aja," ujarnya.


Surya lantas menduga mundurnya PPK Ali Sujoko sebagai pihak yang menjebaknya agar Surya mengambil kebijakan pengadaan proyek tersebut. 

"Skenario mundurnya PPK Ali Sujoko bisa ditafsirkan dalam beberapa analisis. Yaitu untuk memaksa Kepala BKKBN akhirnya mengambil kebijakan penunjukan langsung untuk pengadaan alat kontrasepsi 2015, setelah proses dan hasil lelangnya dinyatakan gagal dan batal. Ini pintu masuk bagi yang bersangkutan untuk memasukkan sendiri kepentingannya lewat perusahaan yang diaturnya," ujarnya. 

"Untuk menyabotase hasil kerja pokja lelang karena mereka hanya bermain dengan kepentingan kelompoknya sendiri, sementara kepentingan PPK tidak terakomodasi," imbuhnya. 

Ia merasa terjebak karena diduga kebijakannya dianggap tidak sesuai dengan aturan. Kemudian beberapa pihak melaporkannya telah melakukan intervensi dalam pengadaan proyek. 

"Untuk menjebak Kepala BKKBN agar melakukan suatu tindakan tidak sesuai aturan sehingga ada jalan masuk untuk menyatakan/melaporkan bahwa Kepala BKKBN telah melakukan intervensi pada proses pengadaan alat kontrasepsi BKKBN tahun anggaran 2015," ujarnya. 

Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan 3 tersangka. Ketiganya adalah Direktur Utama PT Triyasa Nagamas Farma berinisial YW, Direktur PT Djaja Bima Agung berinisial LW, dan mantan Kasi Sarana Biro Keuangan BKKBN berinisial KT. Serta Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty.

Kasus ini bermula saat Satuan Kerja Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KB-KR) pada Direktorat Jalur Pemerintah BKKBN Pusat melaksanakan kegiatan pengadaan Susuk KB II/Implan Batang Tiga Tahunan Plus Inserter pada 2014 dan 2015. Pagu anggaran saat itu sebesar Rp 191 miliar, yang bersumber dari APBN sesuai dengan DIPA BKKBN. 

Saat proses pelelangan berlangsung, terdapat penawaran harga yang dimasukkan oleh para peserta lelang ke satu kendali, yakni PT Djaya Bima Agung. PT Djaya Bima Agung juga sebagai peserta lelang sehingga harga-harga tersebut adalah harga yang tidak wajar dan menyebabkan rendahnya tingkat kompetensi.


Sumber : news.detik.com
Previous
Next Post »